Senin, 23 Desember 2013


Kejadian ini terjadi sekitar sebulan yang lalu. Saya berumur 23 tahun baru lulus dari salah satu
universitas ternama di Jakarta. Dan saya berasal dari keluarga baik-baik. Kejadian ini dimulai ketika
saya menginap di rumah om saya di daerah Bogor. Om saya telah menikah dan memiliki 2 anak lelaki
yang lucu (umur 3 dan 5 tahun), serta memiliki istri yang cukup cantik (menurut saya) umurnya sekitar
27 tahun.
Awal kejadiannya adalah pada hari sabtu malam saya mendengar pertengkaran di rumah tersebut, yang
tidak lain adalah om saya dengan tante saya. Ternyata penyakit gatel om saya kambuh lagi yaitu sering
pergi ke diskotik bersama temannya. Hal tersebut sangat menyakitkan tante saya, karena di sana om
saya akan mabuk-mabukan dan terkadang pulangnya bisa pada hari Minggu malam. Entahlah apa yang
dilakukan di sana bersama teman-temannya. Dan pada saat itu hanya aku bertiga saja di rumah: saya,
Om Pram dan Tante Sis.
Brak...... suara gelas pecah menghantam pintu, cukup membuat saya kaget, dan om saya dengan
marah-marah berjalan keluar kamar. Dari dalam kamar terdengar tante saya berteriak, “Nggak usah
pulang sekalian, cepet ceraikan aku.”
Dalam hatiku berkata, “... Wah ribut lagi....” Om Pram langsung berjalan keluar rumah, menstarter
mobil BMW-nya dan pergi entah ke mana.
Di dalam kamar, aku mendengar Tante Sis menangis. Aku mau masuk ke dalam tapi takut kena
damprat olehnya (kesalahan Om Pram dilimpahkan kepadaku). Tapi aku jadi penasaran juga. Takut
nanti terjadi apa-apa terhadap Tante Sis. Maksudku akibat kecewa sama Om Pram dia langsung bunuh
diri.
Pelan-pelan kubuka pintu kamarnya. Dan kulihat dia menangis menunduk di depan meja rias. Aku
berinisiatif masuk pelan-pelan sambil menghindari pecahan gelas yang tadi sempat dilemparkan oleh
Tante Sis. Kuhampiri dia dan dengan pelan.
Aku bertanya, “Kenapa Tan? Om kambuh lagi?”
Dia tidak menjawab, hanya diam saja dan sesekali terdengar isak tangisnya. Cukup lama aku berdiri di
belakangnya. Pada waktu itu aku hanya memandangnya dari belakang, dan kulihat ternyata Tante Sis
mengenakan baju tidur yang cukup menggiurkan. Pada saat itu aku belum berpikiran macam-macam.
Aku hanya berkesimpulan mungkin Tante Sis mengajak Om Pram, berdua saja di rumah, karena anakanak
mereka sedang pergi menginap di rumah adik Tante Sis. Dan mungkin juga Tante Sis mengajak
Om bercinta (karena baju yang dikenakan cukup menggiurkan, daster tipis, dengan warna pink dan
panjang sekitar 15 cm di atas lutut). Tetapi Om Pram tidak mau, dia lebih mementingkan temantemannya
dari pada Tante Sis.
Tiba-tiba Tante Sis berkata, “..To, Om kamu kayaknya udah nggak sayang lagi sama Tante. Sekarang
dia pergi bersama teman-temannya ke Stardust di Jakarta, ninggalin Tante sendirian di rumah, apa
Tante udah nggak cakep lagi.”
Ketika Tante Sis berkata demikian dia berbalik menatapku. Aku setengah kaget, ketika mataku tidak
sengaja menatap buah dadanya (kira-kira berukuran 34). Di situ terlihat puting susunya yang tercetak
dari daster yang dikenakannya. Aku lumayan kaget juga menyaksikan tubuh tanteku itu.
Aku terdiam sebentar dan aku ingat tadi Tante Sis menanyakan sesuatu, aku langsung mendekatinya
(dengan harapan dapat melihat payudaranya lebih dekat lagi).
“Tante masih cantik kok, dan Om kan pergi sama temannya. Jadi nggak usah khawatir Tan!”
“Iya tapi temennya itu brengsek semua, mereka pasti mabuk-mabukan lagi dan main perempuan di
sana.”
Aku jadi bingung menjawabnya. Secara refleks kupegang tangannya dan berkata, “Tenang aja Tan, Om
nggak bakal macem-macem kok.” (tapi pikiranku sudah mulai macam-macam).
“Tapi Tante denger dia punya pacar di Jakarta, malahan Tante kemarin pergoki dia telponan ama
cewek, kalo nggak salah namanya Sella.”
“Masak Om tega sih ninggalin Tante demi cewek yang baru kenal, mungkin itu temennya kali Tan, dan
lagian Tante masih tetap cantik kok.”
Tanpa Tante Sis sadari tangan kananku sudah di atas paha Tante Sis karena tangan kiriku masih
memegang tangannya.
Perlahan-lahan pahanya kuusap secara halus, hal
ini kulakukan karena aku berkesimpulan bahwa
tanteku sudah lama tidak disentuh secara lembut
oleh lelaki.
Tiba-tiba tanganku yang memegang pahanya
ditepis oleh Tante Sis, dan berdiri dari duduknya,
“ To, saya tantemu saya harap kamu jangan
kurang ajar sama Tante, sekarang Tante harap
kamu keluar dari kamar tante sekarang juga!”
Dengan nada marah Tante Sis mengusirku.
Cukup kaget juga aku mendengar itu, dan dengan
perasaan malu aku berdiri dan meminta maaf,
kepada Tante Sis karena kekurangajaranku. Aku
berjalan pelan untuk keluar dari kamar tanteku.
Sambil berjalan aku berpikir, aku benar-benar
terangsang dan tidak ingin menyia-nyiakan
kesempatan ini.
Sejak aku putus dengan pacarku, terus terang
kebutuhan biologisku kusalurkan lewat tanganku.
Setelah sampai di depan pintu aku menoleh
kepada Tante Sis lagi. Dia hanya berdiri
menatapku, dengan nafas tersenggal-senggal
(mungkin marah bercampur sedih menjadi satu).
Aku membalikkan badan lagi dan di pikiranku aku harus mendapatkannya malam ini juga. Dengan
masa bodoh aku menutup pintu kamar dari dalam dan menguncinya, lalu langsung berbalik menatap
tanteku. Tante Sis cukup kaget melihat apa yang aku perbuat. Otakku sudah dipenuhi oleh nafsu
binatang.
“Mau apa kamu To?” tanyanya dengan gugup bercampur kaget.
“Tante mungkin sekarang Om sedang bersenang-senang bersama pacar barunya, lebih baik kita juga
bersenang-senang di sini, saya akan memuaskan Tante”. Dengan nafsu kutarik tubuh tanteku ke
ranjang, dia meronta-ronta, tetapi karena postur tubuhku lebih besar (tinggiku 182 cm dan beratku 75
kg, sedangkan Tante Sis memiliki tinggi tubuh sekitar 165 cm dan berat kurang lebih 50 kg) aku dapat
mendorongnya ke ranjang, lalu menindihnya.
“Lepasin Tante, Dito,” suara keluar dari mulutnya tapi aku sudah tidak peduli dengan rontaannya.
Dasternya kusingkap ke atas. Ternyata Tante Sis tidak mengenakan celana dalam sehingga terpampang
gundukan bukit kemaluannya yang menggiurkan, dan dengan kasar kutarik dasternya bagian atas
hingga payudaranya terpampang di depanku. Dengan bernafsu aku langsung menghisap putingnya,
tubuh tanteku masih meronta-ronta, dengan tidak sabar aku langsung merobek dasternya dan dengan
nafsu kujilati seluruh tubuhnya terutama payudaranya, cukup harum tubuh tanteku.
Akibat rontaannya aku mengalami kesulitan untuk membuka pakaianku, tapi pelan-pelan aku dapat
membuka baju dan celanaku. Sambil membuka baju dan celanaku itu, dengan bergantian tanganku
mengusap bukit kemaluannya yang menurutku mulai basah (mungkin Tante Sis sudah mulai terangsang
walaupun masih berkurang tetapi frekuensinya agak menurun sedikit).
Dengan tidak sabar aku langsung berusaha membenamkan kejantananku ke liang kewanitaannya.
“To, jangan To, aku Tantemu tolong lepasin To, ampun, Tante minta ampun ..”. Aku sudah tidak peduli
lagi rengekannya. Ketika lubang senggamanya kurasa sudah pas dengan dibantu cairan yang keluar dari
liang kewanitaannya aku langsung menghujamkan senjataku.
“Auuhhh, sakit To, aduh.. Tante minta ampun, .. tolong To jangan.. lepasin Tante To..” Ketika
mendengar rintihannya, aku jadi kasihan, tetapi senjataku sudah di dalam,
“Maaf Tante, saya sudah tidak tahan dan punyaku sudah masuk ke dalam, saya akan berusaha membuat
Tante menikmatinya, tolong Tante sekali ini saja, biarkan saya menyelesaikannya,” bisikku ke
telinganya. Tante Sis hanya diam saja. Dan tidak berkata apa-apa.
Dengan pelan dan pasti aku mulai memompa kemaluanku naik turun, dan Tante Sis sudah tidak
meronta lagi. Dia hanya diam pasrah dan kulihat air matanya berlinang keluar. Kucium keningnya dan
bibirnya, sambil membisikkan,
“Tante, Tante masih cantik dan tetap mengairahkan kok, saya sayang Tante, bila Om sudah tidak
sayang lagi, biar Dito yang menyayangi Tante.” Tante Sis hanya diam saja, dan kurasakan pinggulnya
pun ikut bergoyang seirama dengan goyanganku.
Kira-kira 10 menit aku merasakan liang kewanitaan tanteku semakin basah dan kakinya menyilang di
atas pinggulku dan menekan kuat-kuat (mungkin dia sudah orgasme), dan tidak lama kemudian akupun
mengeluarkan spermaku di dalam liang senggamanya. Setelah pemerkosaan itu kami hanya diam saja.
Tidak berkata apa, hanya diam. Aku sendiri harus ngapain. Tanteku kembali menitikkan air matanya.
Dan aku pamit kepadanya, untuk keluar kamarnya, aku terus merenung, mengapa bisa begini.
Itulah kisahku. Sejak kejadian itu hubunganku dengan tanteku menjadi renggang. Aku bingung dengan
apa yang harus kulakukan. Sudah sebulan aku tidak lagi ke Bogor, karena ada perasaan malu. Tetapi
Tante Sis tidak menceritakan kepada siapapun kejadian ini, dan kadang jika malam aku tidur, selalu
terbayang kejadian waktu itu. Ingin rasanya aku melakukan kembali tetapi aku takut. Maaf aku tidak
menceritakannya secara vulgar, karena hal ini terjadi begitu saja.

0 komentar:

Posting Komentar